EntertainmentOpini

Memahami Sinematografi dalam Perspektif Kesetaraan Gender

Oleh : Anyelir Putri Rahayu

Salah satu bentuk komunikasi yang menggambarkan realitas sosial masyarakat adalah film. Melalui film, pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat akan cepat tersebar luas apalagi di zaman sekarang yang semakin pesat jaringan internetnya. Adapun, aplikasi atau website film gratis yang menghadirkan bermacam-macam film mulai dari film dalam negeri sampai film luar negeri. Film kerap kali dijadikan media untuk menyampaikan isu-isu sosial yang meresahkan masyarakat termasuk juga isu kekerasan atau pelecehan seksual.

Sebagai contoh, film “Hope” yang berkisah tentang anak perempuan berusia 8 tahun bernama so won. Ia mendapatkan kekerasan seksual dengan diperkosa oleh seorang laki-laki secara brutal di dalam toilet umum. Akibatnya, ia mengalami trauma berat dan takut dengan laki-laki bahkan terhadap ayahnya sendiri.

Dalam contoh film di atas, film tersebut menyampaikan pesan bahwa kekerasan seksual terjadi bukan kepada remaja atau orang dewasa saja. Namun, juga bisa menyerang anak-anak. Film itu juga menggambarkan keresahan masyarakat mengingat bahwa kasus kekerasan seksual sangat marak terjadi sehingga tidak menutup kemungkinan semua orang bisa saja mengalaminya. Selain itu, dalam karya-karya sinematografi lainnya. Kita bisa melihat bahwa pengangkatan isu kekerasan atau pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Sebagai contoh seperti film Suffragetes, Penyalin Cahaya, Spotlight, Room dan masih banyak lagi.

Sinematografi merupakan ilmu yang membahas tentang film. Tak hanya itu, seorang yang tergabung dalam proses pebuatan karya sinematografi dituntut untuk melhat keresahan pada masyarakat dan lebih peka dalam isu-isu kriminal jender di mana, hal ini masih sangat tertutup mengingat pola pikir masyarakat yang masih terbelakang.

Seperti film “Marlina Si Pembunuh.” Sang sutradara mengangkat film ini atas dasar keresahan pada kurangnya perhatian masyarakat terhadap kesetaraan jender di Indonesia. Beberapa adegan dalam film ini sengaja dibuat emosional agar penonton sadar akan pentingnya kesetaraan jender. Adegan “Marlina Membunuh Markus” yang mempresentasikan bahwa perempuan mulai mendapatkan kontrol terhadap dirinya sendiri dan bertindak sesuai kemauannya. Pencitraan di mana perempuan selalu terpenjara oleh kontrol laki-laki diperlihatkan dalam adegan ini. Perempuan jadi berani untuk mengambil langkah dan sebagai bentuk perlawanannya di mana perempuan sering direndahkan dan dianggap sebagai objek seksual semata.

Baca Juga:   Ukraina dan Ketergantungan Indonesia Impor Gandum

Masyarakat yang masih berpikir bahwa terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual disebabkan oleh perempuan yang berpakaian terbuka, lingkungan yang jahat, bahkan menyalahkan korban atas kurangnya keimanan Agama dalam diri korban.

Dalam film, penyampaian pesan yang bertujuan untuk mencerahkan proses berpikir masyarakat bisa diperbaiki dengan menyajikan film yang bersifat edukatif dalam persoalan tabuh seperti ini. Tak jarang, masyarakat masih berpikir bahwa perempuan hanya lahir untuk dijadikan istri atau ibu rumah tangga sehingga menutup kemungkinan perempuan untuk bisa menjunjung tinggi pendidikan.

Sinematografi yang merangkul kesetaraan

Sinematografi merupakan ilmu yang lebih luas dibandingkan fotografi atau videografi. Menurut salah satu akademisi yang bergerak di bidang Sinematografi, sinematografi merupakan proses berpikir yang membutuhkan ilmu filsafat dan semiotika di mana seni untuk memengaruhi psikologi seseorang dituntut untuk diperdalam. Peka terhadap suasana, perasaan dan lingkungan sekitar menjadikan seorang sinematografer harus berpikir secara mendalam untuk mencapai tujuannya.

Baca Juga:   Perkembangan Harga Pangan Strategis di Pasar Utama Kota Palembang dalam Bulan Ramadhan (HBKN) Tahun 2022

Dalam karya sinematografi yang terkait dengan kesetaraan, seperti film yang disebutkan di atas. Sinematografer mengandai-andaikan dirinya menjadi korban, menjadi pelaku, masuk kedalam ilusi suasana, apakah itu sedih, marah, haru, dll. Sehingga sebelum ia menciptakan suatu karya kesetaraan maka ia harus memahami apa itu ketidaksetaraan. Maka dari itu, sinematografi adalah proses berpikir sebelum menangkap, merekam dan mengatur gambar atau video.

Dalam kesetaraan, kita tidak hanya berbicara tentang jender semata. Namun, tentang ketidakadilan yang dilahirkan dari perbedaan baik itu jender, negara, suku, warna kulit dan berbagai macam hal yang berbeda. Termasuk dalam sinematografi itu sendiri. Perbedaan bagian misalnya, seperti assisten kamera, lalu aktor utama dan aktor pembantu malah dapat menimbulkan ketidaksetaraan karena suatu perbedaan kualitas. Sinematografer yang baik harus bisa memikirkan bagaimana caranya merangkul kesetaraan yang bijak tanpa menyinggung pihak yang berbeda-beda. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button