Ekonomi

Agar Tak Bebani APBN, Energy Watch Minta Pemerintah Reformasi BBM

Editor: M. Anton

JITOE – Perlu adanya reformasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah wacana pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi, khususnya Pertalite dan Solar. Reformasi ini agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demikian disampaikan Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan, Selasa (31/08/2022).

Menurut Mamit, subsidi BBM saat ini kontraproduktif karena memperlebar jurang kesenjangan sosial antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Padahal subsidi di sektor energi tersebut menggunakan APBN.

“Subsidi BBM menjadi mubazir karena tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, subsidi BBM penggunaannya banyak dimanfaatkan masyarakat mampu. Sudah cukup kita membakar dana APBN kita di jalan raya, kita bisa memanfaatkan APBN kita di sektor produktif,” katanya.

Mamit memaparkan, penyesuaian harga BBM subsidi harus dijelaskan dengan baik kepada masyarakat karena kondisi Indonesia saat ini bukan lagi sebagai net eksportir BBM, melainkan sudah menjadi net importir. Nilai impor BBM Indonesia menyentuh 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya 600.000 barel per hari. Belum lagi pengaruh dolar terhadap nilai tukar rupiah yang membuat mata uang dalam negeri terdepresi.

Baca Juga:   Pemutihan Pajak Bumi dan Bangunan Hingga Akhir Tahun

“Sehingga nilai rupiah kita bisa terdepresiasi lebih dalam, ini yang harus dipahami masyarakat bahwa kita tidak lagi produsen minyak dunia, produksi minyak kita kurang dari setengah nilai konsumsi BBM kita,” ujar Mamit.

Dia mencatat mekanisme subsidi BBM yang tidak tepat sasaran harus segera diubah karena yang menikmati subsidi bahan bakar selama ini justru mereka yang tergolong kelas menengah ke atas. Karena itu, reformasi subsidi BBM harus dilakukan agar tidak membebani APBN.

“Data masyarakat kecil sudah ada, tinggal di-upgrade data sehingga masyarakat yang butuh akan mendapatkan subsidi, sekarang kan banyak yang menikmati subsidi BBM ada mobil-mobil mewah,” ucapnya.

Dari harga keekonomian, harga BBM di Indonesia juga relatif lebih murah dibanding negara lain. Misalnya harga BBM jenis Pertalite di Eropa dan Singapura dijual Rp30.000 per liter.

“Di Uni Eropa sudah Rp30.000, dan di negara Singapura di angka seperti itu, memang disparitasnya sudah tinggi sekali, Harga BBM kita tidak terlalu murah, tapi sudah murah,” katanya.

Baca Juga:   Disdag Palembang Gelar Bazar Digital Ramadan di 22 Titik di 18 Kecamantan

Sementra, Pengamat dari Indonesia Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mencatat wacana kenaikan harga BBM jangan dibiarkan berlarut-larut karena akan berdampak pada angka inflasi yang lebih tinggi.

“Saya rasa pemerintah sudah memikirkan banyak hal dan tentu ini bukan pilihan mudah, dalam setiap kebijakan ada konsekuensi, saya rasa pemerintah mash mengkalkulasi semuanya, tapi saya rasa lebih cepat lebih baik karena jika lebih lama akan berdampak lebih luas, karena wacana sudah bergulir, harga2 sudah mulai naik, ini nanti akan berdampak inflasinya lebih besar,” tutur Fithra.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) itu juga meyakini pemerintah sudah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti penyaluran bansos.

“Sekarang defisit APBN kita di bawah 3 persen, itu akan terlampaui lagi dan membuat APBN kita tidak sehat dalam jangka menengah panjang, (subsidi BBM) akan menjadi beban yang sangat berat apalagi hanya 2 persen masyarakat miskin yang menikmati subsidi BBM,” ucap dia. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button